Fissilmi Hamida |
By: Fissilmi Hamida
"Mas, lagi sibuk nggak?" tanya seorang istri pada suaminya suatu malam, melalui aplikasi Whatsapp.
Sang istri sedang ada acara pelatihan di sebuah hotel. Meski hotel itu hanya berjarak 15 menit-an berkendara dari rumahnya, dia menginap di hotel karena memang itu fasilitas dari acara pelatihan yang diikutinya.
"Nggak, nih. Kenapa?" balas sang suami.
"Dompetku ketinggalan, Mas. Ada di meja ruang tamu, sebelah kotak tisu. Mas bisa tolong bawain ke sini nggak?" tanya sang istri.
"Ok. Bentar aku cari dulu dompetnya," balas sang suami.
Lima menit kemudian.
"Udah sama aku nih dompetnya. Aku ke sana," balas sang suami. Sang istri pun tersenyum.
"Makasih, Sayang." Begitu balasnya.
🖤
Satu jam lebih telah berlalu. Tak ada tanda-tanda sang suami muncul. Di lobi hotel, sang istri mulai panik, tak tenang.
"Mas? Are u OK?"
Dia mengirimkan pesan. Nihil, tak ada balasan. Rasa paniknya semakin tak terelakkan. Jarak rumah ke hotel ini hanya 15 menit saja. Bahkan bisa 10 menit jika tak bertemu lampu merah. Tapi ini sudah satu jam lebih berlalu.
"Mas, jangan bikin khawatir."
Sepuluh menit kemudian, sang istri mengirimkan pesan lagi. Nihil. Masih tak ada jawaban.
Dadanya sesak. Bulir bening mulai menyeruak. Dia takut terjadi sesuatu yang tidak-tidak. Apalagi, beberapa berita kecelakaan menghiasi linimasa selama beberapa hari ini.
Mulai dari berita kecelakaan yang merenggut nyawa seorang artis dan suaminya hingga dalam sekejap, bayi mereka menjadi yatim piatu, hingga berita kecelakaan lainnya yang sukses membuat rasa panik semakin menguasainya.
"Mas, kamu kenapa? Masa rumah ke sini sejam?"
Tak ada jawaban.
"Halo?"
"Mas?"
"Mas di mana?"
"Mas baik-baik aja, kan?"
Sang istri menyerah. Air matanya benar-benar tumpah.
Dia lalu memutuskan untuk menelepon sang suami. Tak ada jawaban meski nada tanda panggilan tersambung berbunyi. Dia terus begitu, mengulanginya hingga beberapa kali.
🖤
"Halo?"
Suara sang suami.
Sang istri tak sanggup bicara. Rasa panik berbagai emosi bercampur membelenggu hingga dia hanya mampu membisu. Dia langsung mematikan panggilan, dengan asumsi sang suami kini membuka ponsel dan membaca pesan-pesan khawatirnya.
"Aku baru selesai makan sama Danish. Tadi tiba-tiba Danish WA ngajak makan. Udah lama nggak katemu soalnya. Ya udah aku samperin aja sekalian. Habis ini aku anter Danish dulu, baru ke hotel anter dompetmu."
Begitu balas sang suami, sukses menyebabkan kian derasnya air mata sang istri.
"Ya Allah, kenapa nggak bilang? ðŸ˜"
Sang istri merasa lega suaminya baik-baik saja, tapi di sisi lain, ada lara yang menganga. Sebab ini bukan kali pertama sang suami bersikap seperti ini. Pergi begitu saja tanpa mengabari, bahkan saat dia tahu dia seharusnya segera menuju tempat sang istri.
"Komunikasimu itu lho Mas, ya Allah 😠Aku nunggu di lobi sampai nangis panik karena udah sejam tapi Mas nggak sampai-sampai. Tadi kan Mas bilang dompet udah di tangan dan Mas bilang mau ke sini."
Sang istri meluapkan isi hati, dengan tangis kekhawatiran yang kini menjelma sebagai tangis kekesalan.
"Apa susahnya sih bilang, udah sama aku nih dompetnya. Tapi aku mau makan dulu sama Danish. Habis itu baru anterin dompetmu."
Sang istri terus meluapkan rasa.
"Tadi aku langsung di jalan. Lupa kasih kabar." Begitu balas sang suami.
Sang istri menganga.
Lupa? Lupa? Lupa?
"Iya, karena aku nggak pernah berada di prioritas pikiranmu, Mas. Makanya perkara ngabarin aku nggak pernah ada di prioritasmu."
Begitu balas sang istri. Hatinya terasa kian tertusuk duri.
"Ya maaf. Ini aku udah OTW." Sang suami membalas. Air mata sang istri masih deras.
"Mas nggak mikir paniknya aku gimana tadi? Just kill me instead, Mas. Udah terlalu sering Mas nyiksa mentalku dengan cara kayak gini. Rasanya lebih menyakitkan. Seenggaknya kalau Mas bunuh aku, aku akan langsung mati dan nggak perlu sering merasakan siksaan mental kayak gini."
Kalimat pamungkas sang istri.
Dia sering begini saat sang suami mengabaikan perkara memberi kabar, tapi tetap saja. Sang suami mengulanginya lagi. Setiap kejadian seperti inu terjadi, sang istri selalu menegaskan betapa tersiksa mentalnya. Rupanya hal itu hanya setara angin lalu semata.
"Nggak usah jadi ke hotel, Mas. Bawa aja dompetnya lagi karena aku nggak mau ketemu Mas dulu."
Balasan terakhir sang istri. Dia lalu naik ke kamarnya di lantai lima sambil mematikan ponselnya. Dia tak peduli jika suaminya datang mencarinya.
Di saat yang sama, satu hal terpatri dalam benaknya.
Dia akan mulai membiasakan diri untuk tidak lagi sedikit-sedikit pamit dan memberi kabar pada suaminya seperti yang sudah bertahun-tahun dia lakukan selama ini. Dia berjanji untuk belajar tak peduli lagi.
Tapi, sanggupkah dia?
Karena baginya, memberi kabar pada sosok yang dicinta bukanlah sekadar kata. Lelakinya itu selalu ada di prioritas otaknya untuk perkara memberi kabar segera.
🖤
Ya, begitulah cara membunuh mental pasanganmu. Istrimu.
Tak usah memberinya kabar saat kamu bepergian atau berkegiatan. Biarkan mental dan hatinya tersiksa dalam kepanikan dan kekhawatiran.
Teruslah begitu hingga dia mati rasa dan tak akan peduli padamu lagi.
🖤