BANJARMASIN-KALSEL, -- Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi (ASJAKON -red) Indonesia yang sedang berjalan di tengah pandemi COVID-19 saat ini, banyak mendapat perhatian, masukan dan kritisi dari berbagai kalangan. Hal ini membuat masyarakat jasa konstruksi dan publik di tanah air semakin bertanya-tanya ada apa sebetulnya dengan regulasi ini ?
Banyaknya pemahaman masyarakat jasa konstruksi dan asosiasi yang belum sejalan dengan informasi regulasi dari kementerian PUPR mendapat atensi dari Ketua LPJK Provinsi Kalsel Ir. Subhan Syarief, MT.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua LPJK Kalsel, kamis 24/09/20 bahwasanya hal ini terjadi pasca kementerian PUPR melalui tim akreditasi yang dibentuk berdasarkan permen PUPR No. 10 tahun 2020 menyampaikan pemberitahuan mengenai ASJAKON yang memenuhi syarat proses akreditasi dengan menyisakan banyak ASJAKON gagal dalam pemenuhannya.
Kemudian berlanjut adanya informasi atas penolakan beberapa POKJA (panitia lelang -red) terhadap sertifikat dari asosiasi yang tidak terakreditasi, sampai munculnya persepsi bahwa asosiasi yang gagal akreditasi dianggap tidak memiliki legalitas dalam memenuhi syarat regulasi untuk memberikan pelayanan jasa konstruksi. Ujar Ir. Subhan
Sebagaimana diketahui, PUPR dan LPJK telah memberikan keterangan prihal semua sertifikat SKA/SKTK/SBU produk UU No.2 tahun 2017, termasuk yang dikeluarkan oleh asosiasi tidak lulus akreditasi tetap berlaku dan sah untuk digunakan. Jelasnya
Melihat dinamika ini, ketua LPJK Kalsel Ir. Subhan Syarief, MT mencermati bahwasanya hal tersebut berawal dari pemahaman proses akreditasi terhadap regulasi induk di UU No.2 Tahun 2017 yang kemudian diturunkan dan menjadi dasar permen PUPR No. 10 Tahun 2020 tentang akreditasi ASJAKON dan rantai pasok, serta permen No. 9 tahun 2020, keduanya terbit mendahului PP yang semestinya menjadi turunan pertama dari UU No.2 tahun 2017. Tuturnya
Maka kemudian, berbekal aturan inilah Menteri menjalankan tugas akreditasi melalui pembentukan TIM akreditasi yang dulunya dilakukan oleh LPJK. Potong Kompas melalui “Akselerasi Hukum” dalam regulasi turunan UU No. 2 tahun 2020 menjadi menarik ketika dikaitkan dengan aspek hal aturan proses akreditasi menurut versi induknya. Terutama dari segi hal siapa pihak yang berwenang melakukan proses akreditasi ASJAKON ? Ungkap Ir. Subhan Syarief, MT Ketua LPJK Kalsel.
Ir. Subhan juga menjabarkan bahwa akreditasi pada UU No. 2 tahun 2017 tidak sesederhana sebagaimana ditafsirkan semua akan diatur mutlak melalui otoritas menteri saja, bahwa ada beberapa pasal yang saling terkait dan tidak bisa ditinggalkan, sehingga hal tersebut perlu dicermati dan ditelusuri.
Bahwa pengaturan akreditasi ASJAKON muaranya tidak bisa lepas dari pasal 3.c yang mengungkap tujuan dari penyelenggaraan jasa konstruksi adalah untuk “Mewujudkan Peningkatan Partisipasi Masyarakat di Bidang Jasa Konstruksi”. Jelasnya
Kemudian pasal 5 ayat (1).d dan ayat (4).g yang mengatur tentang kewenangan Pemerintah Pusat terkait hal menyelenggarakan Akreditasi bagi Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi dan Asosiasi Rantai Pasok Konstruksi. Pasal ini kemudian terhubung ke pasal 9 yang menyatakan bahwa 'Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sampai dengan pasal 8 pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dapat melibatkan masyarakat jasa konstruksi'.
Kata 'Melibatkan Masyarakat Jasa Konstruksi' kemudian diperkuat dengan pasal 84 ayat (1) yang menyatakan 'Penyelenggaraan sebagian kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 mengikutsertakan masyarakat jasa konstruksi' ; dan dalam penjelasan pasal 84 ayat (1) ini dengan tegas dan sangat jelas mengungkapkan salah satu wewenang yang dilimpahkan kepada masyarakat jasa konstruksi tersebut adalah terkait dengan wewenang melakukan akreditasi. Beber Ketua LPJK Kalsel tersebut.
Kemudian, keterlibatan masyarakat jasa konstruksi ini kemudian di wakilkan kepada Lembaga LPJK seperti yang diungkapkan pasal 84 ayat (2) bahwa 'Keikutsertaan masyarakat jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui satu lembaga yang dibentuk oleh Menteri'. Dan pada penjelasan pasal ayat (2) di ungkapkan lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
Memang terkait hal akreditasi dan juga hal pembentukan Lembaga adalah tidak terlepas dari wewenang menteri, tapi tentu ada hal lain yang harus diperhatikan dan tidak bisa di abaikan. Dan hal ini bisa dicoba bila kita salami di UU No 2 tahun 2017, terkhusus pada pasal 104. Pasal 104 ini menyatakan bahwa PP turunan dari UU No. 18 tahun 1999 masih tetap diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan UU No. 2 tahun 2017. Terang Ir. Subhan.
Tugas lembaga telah diatur pada PP No. 28 tahun 2000 yang menyatakan hal wewenang akreditasi adalah dilakukan oleh lembaga LPJK. Artinya ini tidaklah bertentangan dengan UU No.2 tahun 2017 pada pasal 84 ayat (1) dan ayat (2). Tambahnya.
Sehingga pada dasarnya tetap sejalan, sehingga semestinya dengan berpatokan pada pasal ini maka bisa diartikan sepanjang lembaga baru belum terbentuk maka lembaga LPJK lama (produk PP 28 tahun 2000) tetap menjalankan tugasnya. Termasuk salah satunya mendapat wewenang untuk melaksanakan proses akreditasi terhadap asosiasi jasa konstruksi. Ungkap Ketua LPJK Kalsel.
Kemudian bagaimana ketika muncul pertanyaan apakah LPJK produk UU No. 18 tahun 1999 / PP No. 28 tahun 2000 masih ada dan bertugas lalu Menteri berhak untuk langsung melakukan akreditasi ?
Bahwasanya wewenang utama Menteri terkait akreditasi utamanya bisa dilihat pada pasal 30 ayat (7) dan pasal 71 ayat (6) UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Inti kedua pasal menyatakan bahwa yang mengatur ketentuan terkait proses sertifikasi, registrasi dan akreditasi asosiasi badan usaha ataupun asosiasi profesi akan diatur dalam peraturan menteri. Jelas Ir Subhan.
Sehingga dengan berpatokan pada pasal inilah Menteri PUPR mengeluarkan Permen PUPR No. 10 tahun 2020 tentang Akreditasi. Namun yang menarik Permen PUPR No. 10 tahun 2020 ini bersama dengan Permen PUPR No. 9 tahun 2020 telah hadir mendahului PP sebagai turunan pertama dari UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Adapun, aturan dalam UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi terkait hal akreditasi terutama dalam hal pelimpahan sebagian wewenang atau tugas pemerintah kepada masyarakat jasa konstruksi sangat jelas dan tegas.
Bahwa pelimpahan sebagian wewenang tersebut adalah kepada Lembaga LPJK seperti yang diatur pada pasal 84 ayat (1) dan pasal 84 ayat (2) berikut penjelasannya.
Dan dalam hal ini tugas Lembaga LPJK sebagai representatif masyarakat jasa konstruksi adalah antara lain hal registrasi, akreditasi, lisensi dan menetapkan penilai ahli, penyetaraan tenaga kerja asing, membentuk LSP untuk melaksanakan tugas sertifikasi yang belum dapat dilakukan oleh LSP yang dibentuk oleh asosiasi profesi / lembaga diklat.
Adapun, penafsiran dari kementrian PUPR ketika mengeluarkan Permen PUPR No. 10 tahun 2020 ini terasa kental dengan anggapan bahwa cukup mengacu kepada pasal 30 ayat (7) dan pasal 71 ayat (6) maka semua bisa dilakukan termasuk mengabaikan keberadaan LPJK produk PP 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi turunan dari UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Sepertinya Kementerian melupakan pasal kunci yakni pasal 104 huruf a. Yang menyatakan dengan tegas "Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 nomor 54 tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 38 33) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini". Ungkapnya lagi.
Yang sangat menarik dari bunyi pasal ini adalah adanya pernyataan yang jelas dan tegas dan bisa di maknai bahwa semua PP produk UU No. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi MASIH TETAP BERLAKU SEPANJANG TIDAK BERTENTANGAN dengan ketentuan UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, walaupun UU No. 18 tahun 1999 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi (pasal 104 huruf b). Pada PP No 28 tahun 2000 di pasal 29 yang mengatur tentang kewenangan dan tanggung jawab lembaga telah ditegaskan akreditasi adalah bagian dari kewenangan dan tanggung jawab Lembaga LPJK. Terang Ketua LPJK Kalsel tersebut.
Lanjutnya, tentu saja ini tidaklah bertentangan dengan UU No. 2 tahun 2017 pada pasal 84 ayat (1) dan pasal 84 ayat (2). Sehingga dengan berpatokan kepada hal ini maka sangatlah jelas yang berwenang secara aturan perundang undangan untuk melakukan proses Akreditasi Asosiasi Jasa Konstruksi hanyalah Lembaga LPJK bukan lembaga ataupun tim yang dibentuk oleh Menteri.
Lalu bagaimana bila ini kita kaitkan dengan Permen PUPR No. 10 tahun 2020 terkait akreditasi yang juga dibuat atas perintah pasal 30 ayat (7) dan pasal 71 ayat (6), apakah bisa dijadikan patokan ?
Tentu saja jawabnya bisa sepanjang tidak bertentangan dengan perintah UU dan PP yang posisinya lebih tinggi dibandingkan Permen PUPR tersebut. Ujarnya, dan memang diperlukan kejelian dan kecermatan dalam mendudukkan hirarkhi hukum, wabil khusus ketika menentukan siapa yang berwenang melakukan akreditasi asosiasi jasa konstruksi menurut UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa konstruksi.
Sebagaimana Pasal 84 ayat (1) dan ayat (2) yang berkorelasi kepada pasal 104 seyogyanya dapat membantu memberikan jawaban siapa yang berwenang !
Sangatlah jelas adalah wewenang lembaga LPJK yang ada saat ini, katanya. Dan bukan tim akreditasi yang dibentuk oleh Menteri berdasar pasal 2 ayat (3) dan pasal 5 ayat (5) Permen PUPR No.10 tahun 2020. Bila taat, maka pembentukan tim akreditasi melalui Permen PUPR bisa di pastikan bertentangan dengan UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi berikut PP No. 28 tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
Sebagai konsekuensi, selanjutnya bisa saja semua produk hukum yang berdasar daripada Permen PUPR No. 10 tahun 2020 akan cacat hukum dan gugur demi hukum terkhusus hal pembentukan tim akreditasi dan keputusan yang dikeluarkannya.
Yang kemudian dampaknya bisa saja proses penentuan asosiasi yang memenuhi syarat akreditasi atau tidak akan di lakukan pengulangan bila memang terbukti proses yang lalu tidak sejalan dengan perintah UU No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. jelasnya
Akan tetapi, kesemua tersebut bergantung kepada sikap para pelaku jasa konstruksi. apakah masih akan konsisten pada aturan regulasi tertinggi yang telah disepakati untuk diterapkan dalam penyelenggaraan jasa konstruksi ataukah ternyata sebaliknya, yakni tetap ngotot menggunakan tafsiran yang berlandaskan logika paling benar, paling tahu dan paling berkuasa dengan tujuan untuk mengamankan kepentingan tertentu.
Dan bila ini yang terjadi dan kemudian tetap dijalankan, ujungnya bukan sebuah keniscayaan bahwa jasa Konstruksi negeri akan semakin terpuruk dan tidaklah akan bisa maju serta berkembang dengan baik. Pungkas ketua LPJK Kalsel Ir. Subhan Syarief, MT. [TT/ink20]